Senin, 01 Februari 2016

Kawan Hujan

“Untuk bisa melihat pelangi, kita harus mengalami hujan”

Sudah bertahun-tahun, aku, menyambut hujan dengan kata ‘ah’, 'yah’, 'duh’ dan nada keluhan lainnya.
Lagi jalan kali, lalu gerimis, yah hujan.<br>
Lagi mau keluar makan siang di kantor, melirik ke jendela, duh hujan.
Lagi mau pulang, keluar mall, ah hujan.
Reflek. Kebiasaan.

Padahal ya, lagi flu ((berat)) pulang kantor telat gara-gara kerjaan, pulang kena macet di jalan, eh hujan badai. Berenang lah sepasang sepatu di kubangan air jalanan. Pakai payung sih, tapi basah sebadan-badan. Maklum, masih jalan kaki dan naik angkutan umum.

Sering.
Hampir selalu.
Mengeluh ketika hujan datang.

Walaupun, lagu-lagu cinta populer liriknya memuji hujan. Tetap tuh beraduh-aduhan pas hujan beneran.

Tapi, hujan memiliki pendirian. Suatu suratan yang tidak berubah sekeras apapun manusia, aku,  mengeluhkan kehadirannya.

Hujan, sesuai janjiNya, turun memberikan kehidupan. Disadari atau tidak, disyukuri atau tidak, hujan tetap menjalar kedalam tanah menemui akar. Menyampaikan rezeki kepada pokok-pokok tegak, membuatnya rimbun dan berbuah ranum.
Tanpa perlu dipuji kehadirannya. Hujan membawakan musim. Musim mangga, musin duku, musim durian hingga musim rambutan.
Dan ketika buah-buahan manis dinikmati, pepohonan rindang membuat nyaman, hujan pergi tanpa permisi. Tak peduli terima kasih.

Setelah kamu menikmati manisnya buah, dan terlindung dengan rindangnya pepohonan, bolehkah aku meminta satu permohonan, kawan?

Aku berusaha untuk berhenti mengeluhkan hujan. Maukah kau membantuku untuk mengingatkan, kawan?

Dan ketika kau bertemu hujan, sampaikan salamku ya, kawan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar